Social Icons

Rabu, 27 Februari 2013

Teori Psikologi Terkait Pola Perilaku Suporter

Suporter sepakbola di negeri ini tidak pernah lepas dari stigma negatif. faktor labelling, partisipasi media, dan latar belakang dari masing-masing individu dari mereka adalah komponen pembentuk perilaku mereka.
Hakikat suporter adalah kerumunan di mana kerumunan tersebut diartikan sebagai sejumlah orang yang berada pada tempat yang sama, adakalanya tidak saling mengenal, dan memiliki sifat yang peka terhadap stimulus (rangsangan) yang datang dari luar. (Soeprapto, 2010).

Suporter Persikabo Menghargai Pemain Tim Lawan
Salah satu perilaku negatif suporter yang dampaknya benar-benar dirasakan oleh masyarakat adalah perilaku anarkis seperti tindak kekerasan/tawuran antar suporter, pengrusakan fasilitas umum dan melakukan tindakan yang mengarah ke tindak kriminal seperti penjarahan di mana perilaku mereka ini tidak hanya merugikan mereka dan klub namun juga berdampak pada masyarakat dengan menyisakan rasa takut/cemas masyarakat terhadap suporter sepakbola hingga masyarakatpun memunculkan stigma terhadap mereka, selain itu kerugian materil akibat kerusuhan suporter dan juga pengrusakan fasilitas umum tentunya menjadi hal yang sangat disayangkan. Pada akhirnya maka tidak heran jika perilaku suporter sepakbola ini dianggap sebagai wujud masalah sosial karena dampak yang ditimbulkannya baik itu yang berupa fisik seperti pengrusakan fasilitas umum dan non fisik yakni rasa takut/cemas masyarakat ketika bertemu suporter sepakbola.

Suporter Lamongan
Sebagai perilaku sosial maka tak heran bila yang dilakukan oleh suporter sepakbola berdampak pada masyarakat dan mengundang perhatian media (baik meda cetak maupun elektronik). Dalam beberapa kajian ilmiah dan ulasan di media terkadang perilaku suporter sepakbola dianggap sebagai perilaku menyimpang yang susah dihilangkan. Karena beberapa hal itulah akhirnya suporter sepakbola mendapat stigma dari masyarakat. Lisa A Lewis dalam bukunya yang berjudul Adoring Audience: Fan Culture and Popular Media, menyatakan bahwa, “The popular press, as well, has stigmatized fandom by emphasing danger, abnormality, and sillines.” Merujuk apa yang dikatakan oleh Lisa, nampak jelas bahwa stigma yang diperoleh suporter sepakbola juga tak terlepas dari pengaruh media yang selalu memberitakan suporter sepakbola dalam persepektif negatif yakni sebagai sesuatu yang berbahaya, menyimpang, tidak normal, anarkis, dan lainnya.

Suporter Indonesia
Penilaian negatif tentang suporter sepakbola seakan tidak pernah bisa hilang bahkan suporter sepakbola telah mendapat label sebagai sesuatu yang negatif di mata masyarakat. Seperti yang kita ketahui bahwa labelling adalah sesuatu yang sangat merugikan ’subjek’ di mana subjek tidak bisa membantah atau menyanggah atas label yang diperolehnya. Dalam hal ini kita bisa melihat suporter sepakbola khususnya Bonek yang telah mendapat label dari masyarakat atas segala perilaku negatif yang pernah mereka (oknum Bonek) lakukan seperti menjarah, melakukan tindak kekerasan, tidak bermodal, pengrusakan fasilitas umum, menyanyikan lagu yang bernuansa rasis dan provokatif, dan hal lainnya di mana pada akhirnya Bonek mendapat label sebagai kelompok suporter yang anarkis dan bahkan perilaku anarkis Bonek juga dianggap sebagai masalah sosial karena berbagai dampak yang ditimbulkan akibat oleh Bonek seperti kerusakan fisik pada fasilitas umum yang ada di masyarakat dan kerusakan non fisik seperti rasa cemas dan trauma masyarakat terhadap Bonek. Berkaca pada persepektif disorganisasi sosial, perilaku anarkis suporter sepakbola ini memang merupakan sebuah masalah sosial. Perspektif disorganisasi sosial menyebutkan bahwa suatu sistem adalah suatu struktur yang mengandung seperangkat aturan, norma dan tradisi sebagai pedoman untuk melakukan tindakan dan aktivitas. Jadi sangatlah jelas, merujuk terhadap persepektif ini, perilaku anarkis suporter sepakbola merupakan sebuah pelanggaran terhadap sistem yang ada di dalam masyarakat sehingga terjadilah kondisi disorganisasi sosial.

Suporter Persija
Bila dicermati, suporter – suporter yang memiliki karakter keras dan cenderung bertindak anarkis sebagain besar adalah suporter ynag berasal dari kota. Karena dalam masyarakat perkotaan yang cenderung hidup secara individu kriminalitas dan pengangguran, maka konsep solidaritas mereka belum tertata dengan bagus, sehingga suporter – suporter kota menjadi ganas dan mudah terpancing emosinya. (Wahyudiyono, 2004)

Suporter Timnas
Parahnya dari segi ekonomi, pendidikanpun mereka merasa termarjinalkan. Sebenarnya mereka juga merasa bagian dari masyarakat yang ingin teraktualisasi. Disini mereka menjadikan stadion sebagai tempat menumpahkan permasalahan tersebut (Dwi W. Prasetiono).
Machiavelli pernah mengatakan bahwa, kekerasan menjadi absah untuk mempertahankan ancaman dan dapat dipraktekkan oleh penguasa. Mungkin sepak bola sedang menuju ke arah teori ini. Manakala sebuah tim kesayangan mereka mendapat perlakuan tidak adil, spontan saja amuk para pendukungnya menghiasi dan seakan–akan melengkapi manisnya pertandingan. Dalam hal ini belum lagi bila sebuah tim memiliki suporter yang fanatik, hampir dipastikan stadion berubah menjadi lautan amuk masa bila tim kesayangannya kalah atau mendapat perlakuan yang tidak adil.
Dalam cacatan penulis masih ingat di benak pikiran kita pada peristiwa  kerusuhan pada saat perempat final Copa Indonesia pada tanggal 4 september 2006. pendukung Persebaya yang mengatasnamakan Bonekmania mengamuk karena kecewa atas hasil timnya yang ditahan oleh Arema Malang dengan skore 0-0 (sebenarnya pertandingan masih tersisa sekitar 5 menit). Persebaya membutuhkan hasil keunggugulan minimal 2-0, karena pada leg pertama kalah 0-1 dari Arema di Malang. Kekecewaan Bonekmania kemudian dilampiaskan dengan melempari para pemain kedua kesebelasan dan merusak berbagai fasilitas stadion serta menyerang polisi yang sebenarnya berusaha menenangkan keadaan atau mereka. Selain itu, tiga mobil termasuk mobil salah satu stasiun telivisi swasta yang kebetulan sedang meliput pertandingan tersebut rusak diamuk masa. Peristiwa kerusuhan inipun terkenal dengan sebutan ”Asu Semper” (amuk suporter empat September)
Kecintaan yang lebih adalah faktor dari hampir semua itu. Kekhasan untuk menggambarkan manusia dalam persepektif cinta memberikan kesan filosofi yang mendalam bahwa kehidupan seni mencintai (the art of loving). Maka dengan cinta manusia sangat mengerti sifat dasar manusiawinya, yaitu letaknya sebuah kasih sayang. Dan sebaliknya, dengan cinta pula manusia berubah menjadi sadis, ambisius, dan bahkan mematikan. (Bambang, 2006 SBTB)
Sudah saatnya suporter Indonesia dewasa dalam mendukung timnya masing-masing. (LM)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Realeted Post