Suporter sepakbola di negeri ini tidak
pernah lepas dari stigma negatif. faktor labelling, partisipasi media,
dan latar belakang dari masing-masing individu dari mereka adalah
komponen pembentuk perilaku mereka.
Hakikat suporter adalah kerumunan di
mana kerumunan tersebut diartikan sebagai sejumlah orang yang berada
pada tempat yang sama, adakalanya tidak saling mengenal, dan memiliki
sifat yang peka terhadap stimulus (rangsangan) yang datang dari luar.
(Soeprapto, 2010).
Salah satu perilaku negatif suporter
yang dampaknya benar-benar dirasakan oleh masyarakat adalah perilaku
anarkis seperti tindak kekerasan/tawuran antar suporter, pengrusakan
fasilitas umum dan melakukan tindakan yang mengarah ke tindak kriminal
seperti penjarahan di mana perilaku mereka ini tidak hanya merugikan
mereka dan klub namun juga berdampak pada masyarakat dengan menyisakan
rasa takut/cemas masyarakat terhadap suporter sepakbola hingga
masyarakatpun memunculkan stigma terhadap mereka, selain itu kerugian
materil akibat kerusuhan suporter dan juga pengrusakan fasilitas umum
tentunya menjadi hal yang sangat disayangkan. Pada akhirnya maka tidak
heran jika perilaku suporter sepakbola ini dianggap sebagai wujud
masalah sosial karena dampak yang ditimbulkannya baik itu yang berupa
fisik seperti pengrusakan fasilitas umum dan non fisik yakni rasa
takut/cemas masyarakat ketika bertemu suporter sepakbola.
Sebagai perilaku sosial maka tak heran
bila yang dilakukan oleh suporter sepakbola berdampak pada masyarakat
dan mengundang perhatian media (baik meda cetak maupun elektronik).
Dalam beberapa kajian ilmiah dan ulasan di media terkadang perilaku
suporter sepakbola dianggap sebagai perilaku menyimpang yang susah
dihilangkan. Karena beberapa hal itulah akhirnya suporter sepakbola
mendapat stigma dari masyarakat. Lisa A Lewis dalam bukunya yang
berjudul Adoring Audience: Fan Culture and Popular Media, menyatakan bahwa, “The popular press, as well, has stigmatized fandom by emphasing danger, abnormality, and sillines.” Merujuk
apa yang dikatakan oleh Lisa, nampak jelas bahwa stigma yang diperoleh
suporter sepakbola juga tak terlepas dari pengaruh media yang selalu
memberitakan suporter sepakbola dalam persepektif negatif yakni sebagai
sesuatu yang berbahaya, menyimpang, tidak normal, anarkis, dan lainnya.
Penilaian negatif tentang suporter
sepakbola seakan tidak pernah bisa hilang bahkan suporter sepakbola
telah mendapat label sebagai sesuatu yang negatif di mata masyarakat.
Seperti yang kita ketahui bahwa labelling adalah sesuatu yang
sangat merugikan ’subjek’ di mana subjek tidak bisa membantah atau
menyanggah atas label yang diperolehnya. Dalam hal ini kita bisa melihat
suporter sepakbola khususnya Bonek yang telah mendapat label dari
masyarakat atas segala perilaku negatif yang pernah mereka (oknum Bonek)
lakukan seperti menjarah, melakukan tindak kekerasan, tidak bermodal,
pengrusakan fasilitas umum, menyanyikan lagu yang bernuansa rasis dan
provokatif, dan hal lainnya di mana pada akhirnya Bonek mendapat label
sebagai kelompok suporter yang anarkis dan bahkan perilaku anarkis Bonek
juga dianggap sebagai masalah sosial karena berbagai dampak yang
ditimbulkan akibat oleh Bonek seperti kerusakan fisik pada fasilitas
umum yang ada di masyarakat dan kerusakan non fisik seperti rasa cemas
dan trauma masyarakat terhadap Bonek. Berkaca pada persepektif
disorganisasi sosial, perilaku anarkis suporter sepakbola ini memang
merupakan sebuah masalah sosial. Perspektif disorganisasi sosial
menyebutkan bahwa suatu sistem adalah suatu struktur yang mengandung
seperangkat aturan, norma dan tradisi sebagai pedoman untuk melakukan
tindakan dan aktivitas. Jadi sangatlah jelas, merujuk terhadap
persepektif ini, perilaku anarkis suporter sepakbola merupakan sebuah
pelanggaran terhadap sistem yang ada di dalam masyarakat sehingga
terjadilah kondisi disorganisasi sosial.
Bila dicermati, suporter – suporter yang
memiliki karakter keras dan cenderung bertindak anarkis sebagain besar
adalah suporter ynag berasal dari kota. Karena dalam masyarakat
perkotaan yang cenderung hidup secara individu kriminalitas dan
pengangguran, maka konsep solidaritas mereka belum tertata dengan bagus,
sehingga suporter – suporter kota menjadi ganas dan mudah terpancing
emosinya. (Wahyudiyono, 2004)
Parahnya dari segi ekonomi,
pendidikanpun mereka merasa termarjinalkan. Sebenarnya mereka juga
merasa bagian dari masyarakat yang ingin teraktualisasi. Disini mereka
menjadikan stadion sebagai tempat menumpahkan permasalahan tersebut (Dwi
W. Prasetiono).
Machiavelli pernah mengatakan bahwa,
kekerasan menjadi absah untuk mempertahankan ancaman dan dapat
dipraktekkan oleh penguasa. Mungkin sepak bola sedang menuju ke arah
teori ini. Manakala sebuah tim kesayangan mereka mendapat perlakuan
tidak adil, spontan saja amuk para pendukungnya menghiasi dan
seakan–akan melengkapi manisnya pertandingan. Dalam hal ini belum lagi
bila sebuah tim memiliki suporter yang fanatik, hampir dipastikan
stadion berubah menjadi lautan amuk masa bila tim kesayangannya kalah
atau mendapat perlakuan yang tidak adil.
Dalam cacatan penulis masih ingat di
benak pikiran kita pada peristiwa kerusuhan pada saat perempat final
Copa Indonesia pada tanggal 4 september 2006. pendukung Persebaya yang
mengatasnamakan Bonekmania mengamuk karena kecewa atas hasil timnya yang
ditahan oleh Arema Malang dengan skore 0-0 (sebenarnya pertandingan
masih tersisa sekitar 5 menit). Persebaya membutuhkan hasil keunggugulan
minimal 2-0, karena pada leg pertama kalah 0-1 dari Arema di Malang.
Kekecewaan Bonekmania kemudian dilampiaskan dengan melempari para pemain
kedua kesebelasan dan merusak berbagai fasilitas stadion serta
menyerang polisi yang sebenarnya berusaha menenangkan keadaan atau
mereka. Selain itu, tiga mobil termasuk mobil salah satu stasiun
telivisi swasta yang kebetulan sedang meliput pertandingan tersebut
rusak diamuk masa. Peristiwa kerusuhan inipun terkenal dengan
sebutan ”Asu Semper” (amuk suporter empat September)
Kecintaan yang lebih adalah faktor dari
hampir semua itu. Kekhasan untuk menggambarkan manusia dalam persepektif
cinta memberikan kesan filosofi yang mendalam bahwa kehidupan seni
mencintai (the art of loving). Maka dengan cinta manusia sangat mengerti
sifat dasar manusiawinya, yaitu letaknya sebuah kasih sayang. Dan
sebaliknya, dengan cinta pula manusia berubah menjadi sadis, ambisius,
dan bahkan mematikan. (Bambang, 2006 SBTB)
Sudah saatnya suporter Indonesia dewasa dalam mendukung timnya masing-masing. (LM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar